Harapan yang muncul dari benak manusia setelah satu tahun pandemi Covid-19 adalah penularan virus korona segera usai setelah vaksinasi diberikan secara merata kepada penduduk dunia. Harus diakui, kesenjangan antara harapan dengan kenyataan selalu muncul. Misalnya, produksi dan ketersediaan vaksin masih tidak memungkinkan memenuhi program vaksinasi bagi seluruh penduduk di satu negara.
Hal lainnya, pemulihan dunia dari pandemi Covid-19 tidak sekadar bergantung kepada vaksinasi. Virus korona telah bermutasi seperti terjadi di Inggris dan Brasil. Dengan demikian, riset dan penelitian terhadapnya memiliki pola saling kejar antara pembuatan vaksin baru dengan proses mutasi virus korona menjadi generasi-generasi yang lebih cepat menularkan dirinya.
Pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya penanggulangan pandemi. Vaksinasi masal di sejumlah daerah telah mulai dilakukan. Tenaga kesehatan, para pegawai layanan publik, dan lansia menjadi sasaran awal vaksinasi Covid-19. Hal tersebut dilakukan dengan memperhitungkan potensi mobilitas dan kemungkinan penularan virus yang rentan terjadi pada tiga kategori sasaran. Walakin, dapat saja sasaran vaksinasi terhadap tiga kategori ini sebagai uji coba awal program vaksinasi sebagai upaya pemulihan kehidupan akibat pandemi.
Tidak berbeda dengan sebuah gawai yang rentan dimasuki berbagai virus. Kondisi tubuh manusia juga tidak luput dari serangan mikro-organisme yang dapat menjadi parasit bagi inangnya. Vaksinasi merupakan proses instalasi antivirus ke dalam gawai tercanggih di semesta ini. Proses kerja vaksin setelah diinstalasikan ke dalam tubuh manusia ibarat antivirus yang dapat melakukan skrining, mendeteksi dini kehadiran mikro-organisme berbahaya ke dalam tubuh, mengarantina, dan menghapus virus.
Namun penting diperhatikan, vaksin sebagai antivirus ini harus diperbaharui, diupdate versinya, agar dapat membaca dan mengenali virus-virus yang terus bermutasi. Sebuah antivirus yang tidak diperbaharui dapat saja kehilangan kemampuan membaca ancaman berbahaya bagi tubuh, sementara aplikasi tidak berbahaya yang diinstalasikan ke dalam tubuh justru dieksekusi sebagai ancaman serius. Hal ini telah disikapi oleh perusahaan pemroduksi vaksin.
Hoaks Seputar Vaksin
Informasi bohong diciptakan oleh manusia, buzzer, dan robot seputar vaksin jika tidak diantisipasi melalui pencerdasan dan pemahaman kepada masyarakat dapat menjadi penghambat program vaksinasi. Saat pertama kali pemerintah mengumumkan program vaksinasi kepada masyarakat, tidak sedikit informasi bohong dihembuskan.
Bahan baku vaksin berasal dari sesuatu yang tidak halal, vaksin mengandung chip yang disisipkan oleh produsen pembuat vaksin agar dapat mengendalikan manusia di kemudian hari. Segregrasi di bidang sosial ini telah terjadi sebagai residu dari peristiwa politik beberapa tahun lalu. Hembusan hoaks seputar vaksin rata-rata dilakukan oleh korban politik.
Upaya menangkal informasi bohong di atas telah dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan beberapa pendekatan dan tindakan. Pertama, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan maklumat kehalalan vaksin. Kedua, untuk menumbuhkan kepercayaan dan menghilangkan rasa was-was masyarakat, vaksinasi gelombang pertama terlebih dahulu menyasar para pejabat negara terlebih dahulu. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Presiden Joko Widodo secara langsung.
Meskipun langkah-langkah tersebut telah diambil oleh pemerintah untuk menangkal perluasan dan penyebaran informasi bohong. Produksi hoaks terus berlangsung, vaksin yang diproduksi oleh Tiongkok tetap diisukan sebagai langkah dan strategi “negeri tirai bambu” melakukan agresi perluasan bisnis. Pandangan ini telah melahirkan sikap eksklusif dari negara-negara maju. Mereka memroduksi vaksin untuk kepentingan negaranya sendiri ketika Tiongkok mendistribusikan vaksin ke negara-negara berkembang.
Penanggulangan pandemi Covid-19 dan pemulihan kembali dunia kepada tatanan sebelumnya sangat membutuhkan kebersamaan setiap negara di dunia. Bukan malahan terjerembab ke dalam perang opini dan wacana tidak berkesudahan.
Konflik antara gubernur New York Andrew Cuomo dengan Donald Trump pada masa awal penularan virus korona di Amerika Serikat telah berdampak terhadap peningkatan yang “menggila” kasus positif Covid-19 di negara bagian tersebut. Peristiwa satu tahun lalu ini sangat penting dijadikan pelajaran oleh umat manusia, penanganan pandemi memerlukan kebersamaan bukan menguras pikiran dan tenaga melalui konflik kepentingan baik di tingkat lokal, nasional, hingga global.
Sejak pencanangan program vaksinasi oleh pemerintah pusat, vaksinasi telah dilakukan di Kota Sukabumi dengan sasaran awal: tenaga kesehatan dan pegawai layanan publik. Sasaran pada gelombang pertama vaksinasi ini juga belum seluruh pegawai terlibat dan divaksinasi dengan berbagai pertimbangan. Berbeda dengan pemberian vaksin dan imunisasi sebelumnya, vaksinasi Covid-19 ini dilakukan dengan metode dan langkah-langkah cenderung antisiptif persuasif. Sikap hati-hati atau tidak ceroboh ini merupakan hal baik, jangan sampai setelah vaksinasi justru menimbulkan gejala yang tidak diharapkan.
Percepatan vaksinasi akan berbanding lurus dengan pemulihan berbagai bidang kehidupan pascapandemi. Langkah yang sebaiknya ditempuh oleh pemerintah dalam program ini selain menggratiskan biaya vaksinasi juga memberikan pencerdasan kepada masyarakat mengenai pemulihan kehidupan setelah pandemi. Membangun kembali dunia yang perlahan mengalami keruntuhan diperlukan upaya kuat dengan melahirkan kembali harapan, semangat, dan cita-cita bersama umat manusia.
Divergensi Sosial
Secara harafiah divergensi biasanya terjadi pada bahasa. Divergensi terjadi ketika suatu bahasa terpecah belah menjadi beragam dialek karena ketersendatan komunikasi. Baik di dalam bahasa atau di dalam realitas kehidupan, peristiwa konvergensi sangat bebahaya dan mengancam keberlangsungan kehidupan yang sehat, baik, dan sesuai harapan. Konvergensi sosial, keterpecahan kehidupan menjadi bagian-bagian dan kelompok serta ikatan sosial yang melemah telah berlangsung selama pandemi Covid-19.
Konvergensi sosial terutama dipengaruhi oleh akses terhadap sumber ekonomi dan usaha semakin tertutup, jumlah pengangguran bertambah sebagai akibat pemutusan hubungan kerja, kekerasan di dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, melebarnya jurang pendidikan dengan dunia anak, kesenjangan antara orang kaya dan miskin, akses layanan pendidikan yang minim, dan pola interaksi baru melalui media daring. Bagi manusia sebagai mahluk sosial, situasi pandemi telah melahirkan hal-hal di atas dipandang sebagai suasana kurang normal. Meskipun pada saatnya nanti manusia dapat beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan situasi nir-sosial tersebut.
Manusia memang tidak semestinya memandang sinis kehidupan. Sinisme justru dapat menjadi pemantik hilangnya harapan. Walakin, selama pandemi, divergensi sosial telah mengubah wajah dunia kepada dua hal tersebut, sikap sinis dan harapan yang tersendat. Jika vaksinasi merupakan proses instalasi antivirus ke dalam tubuh manusia, untuk mengembalikan pola interaksi dan ikatan sosial yang memudar selama pandemi diperlukan proses peledakan hormon-hormon yang terjadi di dalam tubuh manusia.
Untuk menumbuhkan kembali kebahagiaan dibutuhkan ledakan endorfin. Bagaimanapun, diri manusia merupakan pabrik kimia terbesar yang dapat memulihkan dirinya sendiri. Kekerasan terhadap anak sebagai akibat proses pembejalaran jarak jauh sudah sepatutnya manusia menyadarinya sebagai wujud kecintaan orangtua kepada anak.
Tubuh membutuhkan ledakan oksitosin agar rasa cinta dan sayang muncul kembali baik dari orangtua kepada anak atau sesama orangtua. Pandemi telah membuat dunia bermuram durja, ledakan dopamin di dalam tubuh dapat menciptakan situasi cerah, sensasi menyenangkan demi melihat apa yang berada di luar diri manusia.
Manusia telah mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang pernah terjadi. Eksistensi atau keberadaan manusia sampai saat ini masih dapat bertahan ketika menyadari bahwa gudang dan pabrik besar yang dapat menciptakan segala situasi tetap dipertahankan. Bagi siapa saja, fitur-fitur kehidupan terdampak pandemi dapat dipulihkan dengan membangun kebahagiaan, harapan, dan rasa cinta. Tanpa tiga hal tersebut, dunia akan tampil menjadi lebih muram bukan menjadi sosok berwajah baru.
Radar Sukabumi, Rabu 10 Maret 2021
#Covid-19
#Kolom
Hal lainnya, pemulihan dunia dari pandemi Covid-19 tidak sekadar bergantung kepada vaksinasi. Virus korona telah bermutasi seperti terjadi di Inggris dan Brasil. Dengan demikian, riset dan penelitian terhadapnya memiliki pola saling kejar antara pembuatan vaksin baru dengan proses mutasi virus korona menjadi generasi-generasi yang lebih cepat menularkan dirinya.
Pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya penanggulangan pandemi. Vaksinasi masal di sejumlah daerah telah mulai dilakukan. Tenaga kesehatan, para pegawai layanan publik, dan lansia menjadi sasaran awal vaksinasi Covid-19. Hal tersebut dilakukan dengan memperhitungkan potensi mobilitas dan kemungkinan penularan virus yang rentan terjadi pada tiga kategori sasaran. Walakin, dapat saja sasaran vaksinasi terhadap tiga kategori ini sebagai uji coba awal program vaksinasi sebagai upaya pemulihan kehidupan akibat pandemi.
Tidak berbeda dengan sebuah gawai yang rentan dimasuki berbagai virus. Kondisi tubuh manusia juga tidak luput dari serangan mikro-organisme yang dapat menjadi parasit bagi inangnya. Vaksinasi merupakan proses instalasi antivirus ke dalam gawai tercanggih di semesta ini. Proses kerja vaksin setelah diinstalasikan ke dalam tubuh manusia ibarat antivirus yang dapat melakukan skrining, mendeteksi dini kehadiran mikro-organisme berbahaya ke dalam tubuh, mengarantina, dan menghapus virus.
Namun penting diperhatikan, vaksin sebagai antivirus ini harus diperbaharui, diupdate versinya, agar dapat membaca dan mengenali virus-virus yang terus bermutasi. Sebuah antivirus yang tidak diperbaharui dapat saja kehilangan kemampuan membaca ancaman berbahaya bagi tubuh, sementara aplikasi tidak berbahaya yang diinstalasikan ke dalam tubuh justru dieksekusi sebagai ancaman serius. Hal ini telah disikapi oleh perusahaan pemroduksi vaksin.
Hoaks Seputar Vaksin
Informasi bohong diciptakan oleh manusia, buzzer, dan robot seputar vaksin jika tidak diantisipasi melalui pencerdasan dan pemahaman kepada masyarakat dapat menjadi penghambat program vaksinasi. Saat pertama kali pemerintah mengumumkan program vaksinasi kepada masyarakat, tidak sedikit informasi bohong dihembuskan.
Bahan baku vaksin berasal dari sesuatu yang tidak halal, vaksin mengandung chip yang disisipkan oleh produsen pembuat vaksin agar dapat mengendalikan manusia di kemudian hari. Segregrasi di bidang sosial ini telah terjadi sebagai residu dari peristiwa politik beberapa tahun lalu. Hembusan hoaks seputar vaksin rata-rata dilakukan oleh korban politik.
Upaya menangkal informasi bohong di atas telah dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan beberapa pendekatan dan tindakan. Pertama, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan maklumat kehalalan vaksin. Kedua, untuk menumbuhkan kepercayaan dan menghilangkan rasa was-was masyarakat, vaksinasi gelombang pertama terlebih dahulu menyasar para pejabat negara terlebih dahulu. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Presiden Joko Widodo secara langsung.
Meskipun langkah-langkah tersebut telah diambil oleh pemerintah untuk menangkal perluasan dan penyebaran informasi bohong. Produksi hoaks terus berlangsung, vaksin yang diproduksi oleh Tiongkok tetap diisukan sebagai langkah dan strategi “negeri tirai bambu” melakukan agresi perluasan bisnis. Pandangan ini telah melahirkan sikap eksklusif dari negara-negara maju. Mereka memroduksi vaksin untuk kepentingan negaranya sendiri ketika Tiongkok mendistribusikan vaksin ke negara-negara berkembang.
Penanggulangan pandemi Covid-19 dan pemulihan kembali dunia kepada tatanan sebelumnya sangat membutuhkan kebersamaan setiap negara di dunia. Bukan malahan terjerembab ke dalam perang opini dan wacana tidak berkesudahan.
Konflik antara gubernur New York Andrew Cuomo dengan Donald Trump pada masa awal penularan virus korona di Amerika Serikat telah berdampak terhadap peningkatan yang “menggila” kasus positif Covid-19 di negara bagian tersebut. Peristiwa satu tahun lalu ini sangat penting dijadikan pelajaran oleh umat manusia, penanganan pandemi memerlukan kebersamaan bukan menguras pikiran dan tenaga melalui konflik kepentingan baik di tingkat lokal, nasional, hingga global.
Sejak pencanangan program vaksinasi oleh pemerintah pusat, vaksinasi telah dilakukan di Kota Sukabumi dengan sasaran awal: tenaga kesehatan dan pegawai layanan publik. Sasaran pada gelombang pertama vaksinasi ini juga belum seluruh pegawai terlibat dan divaksinasi dengan berbagai pertimbangan. Berbeda dengan pemberian vaksin dan imunisasi sebelumnya, vaksinasi Covid-19 ini dilakukan dengan metode dan langkah-langkah cenderung antisiptif persuasif. Sikap hati-hati atau tidak ceroboh ini merupakan hal baik, jangan sampai setelah vaksinasi justru menimbulkan gejala yang tidak diharapkan.
Percepatan vaksinasi akan berbanding lurus dengan pemulihan berbagai bidang kehidupan pascapandemi. Langkah yang sebaiknya ditempuh oleh pemerintah dalam program ini selain menggratiskan biaya vaksinasi juga memberikan pencerdasan kepada masyarakat mengenai pemulihan kehidupan setelah pandemi. Membangun kembali dunia yang perlahan mengalami keruntuhan diperlukan upaya kuat dengan melahirkan kembali harapan, semangat, dan cita-cita bersama umat manusia.
Divergensi Sosial
Secara harafiah divergensi biasanya terjadi pada bahasa. Divergensi terjadi ketika suatu bahasa terpecah belah menjadi beragam dialek karena ketersendatan komunikasi. Baik di dalam bahasa atau di dalam realitas kehidupan, peristiwa konvergensi sangat bebahaya dan mengancam keberlangsungan kehidupan yang sehat, baik, dan sesuai harapan. Konvergensi sosial, keterpecahan kehidupan menjadi bagian-bagian dan kelompok serta ikatan sosial yang melemah telah berlangsung selama pandemi Covid-19.
Konvergensi sosial terutama dipengaruhi oleh akses terhadap sumber ekonomi dan usaha semakin tertutup, jumlah pengangguran bertambah sebagai akibat pemutusan hubungan kerja, kekerasan di dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, melebarnya jurang pendidikan dengan dunia anak, kesenjangan antara orang kaya dan miskin, akses layanan pendidikan yang minim, dan pola interaksi baru melalui media daring. Bagi manusia sebagai mahluk sosial, situasi pandemi telah melahirkan hal-hal di atas dipandang sebagai suasana kurang normal. Meskipun pada saatnya nanti manusia dapat beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan situasi nir-sosial tersebut.
Manusia memang tidak semestinya memandang sinis kehidupan. Sinisme justru dapat menjadi pemantik hilangnya harapan. Walakin, selama pandemi, divergensi sosial telah mengubah wajah dunia kepada dua hal tersebut, sikap sinis dan harapan yang tersendat. Jika vaksinasi merupakan proses instalasi antivirus ke dalam tubuh manusia, untuk mengembalikan pola interaksi dan ikatan sosial yang memudar selama pandemi diperlukan proses peledakan hormon-hormon yang terjadi di dalam tubuh manusia.
Untuk menumbuhkan kembali kebahagiaan dibutuhkan ledakan endorfin. Bagaimanapun, diri manusia merupakan pabrik kimia terbesar yang dapat memulihkan dirinya sendiri. Kekerasan terhadap anak sebagai akibat proses pembejalaran jarak jauh sudah sepatutnya manusia menyadarinya sebagai wujud kecintaan orangtua kepada anak.
Tubuh membutuhkan ledakan oksitosin agar rasa cinta dan sayang muncul kembali baik dari orangtua kepada anak atau sesama orangtua. Pandemi telah membuat dunia bermuram durja, ledakan dopamin di dalam tubuh dapat menciptakan situasi cerah, sensasi menyenangkan demi melihat apa yang berada di luar diri manusia.
Manusia telah mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang pernah terjadi. Eksistensi atau keberadaan manusia sampai saat ini masih dapat bertahan ketika menyadari bahwa gudang dan pabrik besar yang dapat menciptakan segala situasi tetap dipertahankan. Bagi siapa saja, fitur-fitur kehidupan terdampak pandemi dapat dipulihkan dengan membangun kebahagiaan, harapan, dan rasa cinta. Tanpa tiga hal tersebut, dunia akan tampil menjadi lebih muram bukan menjadi sosok berwajah baru.
Radar Sukabumi, Rabu 10 Maret 2021
0 Tanggapan